Tampilkan postingan dengan label MENATA HATI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MENATA HATI. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Mei 2011

SEMANGAT DAN RASA SYUKUR


Pada umumnya perjuangan manusia dalam mencapai cita-cita penuh perjuangan dan pengorbanan. Tidak ada yang didapat dengan mudah, melainkan telah didahului dengan usaha yang gigih dan pantang menyerah. Tak jarang berbagai hambatan, cobaan, dan kesulitan menghadang di depan kita hingga asa kita pun hampir sirna. Jika Anda sedang menghadapi hal-hal tersebut, semoga artikel ini bisa memberikan secercah harapan atau bahkan mengobarkan semangat Anda yang hampir padam.

Ketika kita dalam keadaan sulit, menderita, dan serba prihatin seringnya kita merasa sendirian. Tidak ada orang yang mau membantu, atau hanya sekedar memberikan dorongan semangat. Kadang kita merasa dunia begitu kejam atau menganggap Tuhan tidak adil. Apalagi ketika melihat orang lain lebih berhasil, hidup lebih enak dan bahagia menurut pandangan kita. Dunia kita terasa semakin sempit dan menyesakkan.Ternyata semua itu hanya perasaan kita sendiri. Perasaan yang diliputi kecemasan dan ketakutan pada hal-hal buruk yang tidak kita inginkan. Perasaan yang jauh dari rasa syukur dan kesadaran bahwa masih banyak nikmat hidup dan karunia yang pantas untuk disyukuri. Lebih jauh lagi adalah perasaan yang berasal dari jiwa yang jauh dari Tuhan. Jiwa yang rapuh karena rapuhnya iman kepada Ilahi.

Seandainya kita memiliki keimanan yang kokoh, tentu pikiran kita tidak akan berburuk sangka. Maksudnya kita tidak berpikir negatif dan menyalahkan keadaan. Semua pikiran negatif hanya akan menambah masalah. Prasangka buruk hanya akan menghalangi ditemukannya sebuah solusi cemerlang untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Kalau kita mau berpikir ke atas jauh menembus langit, pasti akan ketemu. Ternyata semua ini sudah ada yang mengatur. Baik atau buruk menurut kita, semua itu sudah diperhitungkan dengan sangat teliti.

Sebuah kekuatan yang kasat mata ada di balik semua kejadian yang ada di alam ini. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuan-Nya. Bahkan sehelai daun yang jatuh di tengah hutan belantara atau seekor semut hitam yang berada di atas batu hitam di tengah malam yang gelap gulita pun Dia tahu. Demikian juga apa yang ada di hati manusia. Prasangka kita selalu dalam lingkup pengetahuan-Nya yang tak terbatas sehingga kita tidak boleh berprasangka buruk, apalagi kepada Dia Yang Maha Kuasa.

Dalam menghadapi himpitan masalah dan kesulitan, kita memang tidak lepas dari hembusan rasa waswas, gundah gulana, dan keraguan. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan memiliki keyakinan bahwa kita tidaklah sendirian. Ada sebuah kekuatan yang telah mengatur semua yang sedang terjadi. Ada sebuah kekuatan di luar jangkauan panca indera kita yang akan menolong kita. Kalau kita yakin maka pertolongan itu akan semakin dekat. Itulah kuasa Tuhan. Kita memiliki iman yang tidak boleh pudar; itulah iman kepada Allah SWT. Dialah yang selalu menyertai langkah kita. Hanya saja kita sering lalai dari mengingat-Nya.

Sudah seharusnya ketika kita sedang berada dalam keadaan yang kurang nyaman, kita lebih mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Mungkin saja Allah SWT menciptakan cobaan agar kita kembali pada-Nya. Karena ketika kita bersungguh-sungguh mendekat kepada Allah SWT maka Allah akan lebih bersungguh-sungguh lagi menyambut penghambaan kita. Ketika hati ini sudah yakin benar akan kekuasaan Tuhan di balik semua yang terjadi dalam hidup ini maka kita tidak akan takut dan gentar dalam berjuang keluar dari segala kesusahan dan penderitaan. Kita yakin bahwa kita tidak sendirian.

Keyakinan transcendental yang kita miliki tersebut akan membangkitkan energi psikis yang membuat kita sabar, tabah, dan tegar dalam berproses meraih kesuksesan. Kita akan menyandarkan ikhtiar kita pada Dzat Yang Maha Segala-galanya, dan menganggap jerih payah yang kita lakukan sebagai ibadah. Dengan demikian kita tidak terlalu memikirkan hasil akhir, namun lebih menikmati prosesnya sehingga tidak begitu terasa adanya tekanan dan kekhawatiran, apalagi berputus asa. Semangat kita akan terus tumbuh dan menggelora sampai tujuan kita tercapai. Dengan keyakinan tersebut, kita menjadi lebih percaya diri dan bisa berpikir lebih jauh ke depan.

Setelah Anda memiliki keyakinan bahwa Anda tidak sendirian dalam menjalani semua proses kehidupan ini, pasti Anda bisa menjawab pertanyaan berikut ini:

# Sebelum menuai sukses, kuatkah kita menghadapi cobaan dan rintangan yang menghadang?

# Sebelum menuai sukses, tabahkah kita menghadapi penderitaan?

# Sebelum menuai sukses, bersabarkah kita dalam menjalani proses hingga tercapai kebahagiaan yang dipejuangkan?

Ada satu hal lagi yang harus Anda ketahui. Yakni bahwa masih banyak orang yang keadaannya lebih tertekan daripada Anda. Masih banyak orang yang dicoba dengan ujian hidup yang lebih berat daripada Anda. Dan masih banyak orang yang lebih sederhana hidupnya daripada kehidupan Anda yang sekarang. Jika mereka bisa tersenyum dan mensyukuri keadaan mereka, mengapa Anda tidak?

Jika Anda mau melihat ke bawah, pasti Anda akan menyadari bahwa Anda tidak sendirian. Oleh karena itu, tetaplah menjaga semangat untuk mewujudkan impian sukses Anda walau keringat dan air mata harus jadi taruhannya.

Dan penting untuk diingat “5 Prinsip Kesuksesan” yang disampaikan oleh Rudy Lim berikut ini :

1. Masa lalu tidak sama dengan masa yang akan datang.

2. Tidak ada kegagalan, hanya ada keberhasilan.

3. Saya bertanggung jawab sepenuhnya atas kehidupan saya.

4. Semua yang terjadi adalah yang terbaik.

5. Kalau saya MAU, saya pasti BISA…!!

Semoga bermanfaat, dan selamat berproses menjadi manusia yang luar biasa!

19 MEI 2011 Jogjakarta For Yudi Sc & Sofia Chotib
Baca Selengkapnya →SEMANGAT DAN RASA SYUKUR

Selasa, 06 Juli 2010

Pemaaf adalah Sifat- Nya

Salah satu sisi ajaran Islam yang paliong mendasar adalah pengampunan dan maaf. Hal ini sangat kontra dengan asumsi luas yang mengatakan bahwa Islam itu keras, dan ayat-ayat Al-Qur’an itu hanya penuh dengan ungkapan ‘siksaan’ (adzab). Seolah Islam itu sangat tidak ‘cinta’ dan ‘kasih sayang’, kontra dengan ajaran Kristen misalnya yang selalu menjadikan ‘cinta kasih’ sebagai slogan.

Sisi ajaran Islam yang pengampun dan pemaaf ini mendasar karena beberapa alasan sebagai berikut:

Pertama, bahwa di antara sekian Asma dan Sifat Ilahi, selain ‘Nama definite’ (Allah) ada dua yang paling nama dan sifat yang paling dominan dan berulang-ulang disebutkan dalam Al-Qur’an. Pertama adalah sifatNya yang ‘Rahmah’ (kasih sayang) dalam dua bentuk; Ar-Rahman, Ar-Rahim. Kedua, sifatNya yang ‘Pemaaf’ dalam empat bentuk; Al-Ghafuur, Al-Ghaffaar, Al-‘Afuuw dan At-Tawwab.

Kata Ghafuur dan Ghaffar misalnya, terulang lebih 70 kali salam Al-Qur’an. Demikian pula dengan kata ‘afuwwun’ dan ‘tawwabun yang seringkali dikaitkan dengan sifatNya yang ‘Rahiim’ berulang beberapa kali dalam Al-Qur’an.Kedua, bahwa dalam sejarah manusia memang sejak awal penciptaannya memerlukan pengampunan Tuhan Yang Maha Rahman. Di tempatkannya kedua orang tua manusia (Adam dan Hawa) dalam syurga, lalu kemudian diuji dengan sebuah larangan, menunjukkan bahwa hidup ini penuh dengan ujian yang besar kemungkinan akan menjadikan manusia terjatuh dalam dosa dan kesalahan. Untuk itu, dalam sejarahnya manusia bersalah dan memerlukan pengampunan. Maknanya, secara historis manusia memerlukan pengampunan dari Tuhan mereka.

Ketiga, bahwa manusia secara ‘tabiat’ memiliki juga kecenderungan untuk berbuat salah. Hal ini disebabkan karena adanya ‘kecednerungan dasar’ manusia yang disebut ‘hawa nafsu’ yang rentang menarik manusia kea rah yang bertentangan dengan dasar penciptaannya sebagai ‘makhluk fitri’ (suci). Realita ini menjadikan manusia berada pada posisi lebih mulia dari malaikat, tapi juga lebih rendah dari hewan. Kenyataan bahwa manusia memiliki hawa nafsu tapi mampu menjaga kesuciannya, menjadikanny terangkat ke derajat lebih tinggi dari malaikat. Tapi kenyataan lain bahwa dia diciptakan di atas dasar ‘fitrah’ namun hanyut dalam perbudakan hawa nafsunya, menjadikannya terjatuh dalam kehinaan yang lebih rendah dari hewan.

Itulah yang Allah firmankan: ‘Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dengan penciptaan yang sebaik-baiknya. Lalu kemudian Kami jadikan dia jatuh ke dalam derajat yang paling rendah’.

Ayat lain memuji kemuliaan manusia: ‘Sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam (manusia)’.

Namun pada ayat lain digambarkan: ‘Mereka itu layaknya hewan, bahkan mereka lebih sesat (dari hewan)’.

Maka, pengampunan bagi manusia menjadi ‘asasi’ karena kenyataan bahwa memang mereka, tanpa kecuali, pasti melakukan dosa dan kesalahan. Tentunya pengecualian berlaku untuk para nabi dan rasul yang diberikan penjagaan khusus (Ishmah), sehingga mereka dikenal sebagai hamba-hamba Allah yang ‘ma’shuumiin’ (terjaga).

Dua Sisi Maaf

Berbicara tentang maaf atau pengampunan, ada dua sisi yang perlu dijelaskan. Sisi pertama adalah sisi vertikal, yaitu pengampunan Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Sisi kedua adalah sisi horizontal, yaitu maaf dari seorang hamba kepada sesama hamba Allah SWT.

Kedua sisi ‘maaf’ (pengampunan) ini sebenarnya saling terkait. Seorang hamba yang ringan maaf, insya Allah akan selalu menjadikan Allah SWT ‘ringan maaf’ kepadanya. Hal ini karena dia menjadikan Allah sebagai kiblat akhlaq (takhallquu bi akklaqillah). Maka keduanya juga menjadi ciri khas ‘ketakwaan’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an.

Sisi Vertikal

Allah Yang Maha Rahman-Rahim tidak pernah menutup pintu ‘ampunan’ bagi hamba-hambaNya selama hamba itu masih dalam realita kehidupan dunianya. Maknanya, masih mengalami penyatuan antara kehidupan jasad dan ruh, yang lebih dikenal dengan kehidupan dunia. Apa saja kesalahan itu, dan sebesar apapun, Allah SWT dengan ‘rahmat’Nya yang maha luas dan tanpa batas akan mengampuni hamba-hambaNya.

Dalam sebuah ayat Allah SWT menjelaskan: ‘Katakan (wahai Muhammad), wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas terhadap diri mereka! Jangan berputus asa dari rahmat Allah, karena sesungguhnya Allah mengampui semua dosa. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ (Al-Qur’an).

‘Sungguh Allah mengampuni semua dosa’. Itulah deklarasi Al-Qur’an yang tegas. Lalu bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa ‘Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa yang mempersekutukan bagiNya?’. Jawabannya adalah bahwa jika seorang hamba melakukan dosa syirik, tapi sebelum meninggal dunia sempat meminta ampun dan kembali ke jalan tauhid, maka Allah akan mengampuni dosa tersebut. Namun jika dia meninggal dalam keadaan syirik, maka dia akan abadi dalam neraka. Dosa ini tidak akan diampuni (dihapuskan) sebagaimana dosa-dosa lain, selama orang tersebut meyakini ‘Tauhid’.

Sungguh kemaha-ampunan Allah itu sangat luat dan tidak terbatas. Dalam berbagai hadits, Rasulullah SAW menegaskan, antara lain:

‘Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba sebelum menghembuskan napas terakhir (maa lam yugharghir)’.

‘Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba sebelum mata hari terbit di ufuk barat’.

‘Sungguh Allah membuka pintu magfirah di malam hari bagi hamba yang berdosa dosa di siang hari. Dan sungguh Allah membuka pintu maghfirah di siang hari bagi hamba yang melakukan dosa di malam hari’.

Ada sebuah cerita yang menarik, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:

‘Suatu ketika ada seseorang yang telah membunuh 99 orang. Lalu dia mendatangi seorang saleh untuk bertanya, apakah dia masih akan diampuni oleh Allah SWT? Oleh orang saleh itu dikatakan bahwa dosanya telah demikian besar dan Allah tidak akan mengampuninya lagi. Maka, dia pun marah dan membunuh orang saleh tersebut. Kemudian dia mendatangi seorang yang bijak dan ilmuan untuk menanyakan hal yang sama. Oleh sang bijak dan ilmuan itu dijawab bahwa jika memang dia iklas dang sungguh-sungguh, maka Allah akan selalu membuka pintu maaf baginya. Dengan gembira orang tersebut bertanya, apa gerangan yang harus dia lakukan agar Allah mengampuniya. Sang bijak memberitahu bahwa hendaknya dia berangkat ke suatu tempat dan beribadah bersama-sama dengan kelompok orang yang ada di tempat tersebut. Berangkatlah orang tersebut. Tapi dalam perjalanannya dia meninggal dunia. Maka dua malaikat datang bersamaanuntuk menjemputnya. Satu ingin membawanya ke syurga karena kinginannya untuk bertaubat dan berubah. Yang satu lagi ingin menyeretnya ke Neraka karena dosa yang besar, membunuh 100 orang. Mereka kemudian berselisih dan masing-masing ingin menang. Allah kemudian mengutus malaikat ketiga untuk menjadi penengah, dan Allah telah memerintahkan kepadanya untuk menentukan mana pihak (malaikat) yang benar. Malaikat ketiga kemudian memerintahkan keduanya untuk mengukur jarak dari mana dia datang dan jarak kemana orang tersebut menuju. Jika jarak asal kedatangannya lebih jauh berarti dia lebih dekat kepada syurga, dan jika sebaliknya, jarak ke tujuannya lebih jauh maka berarti dia lebih dekat ke neraka. Setelah diukur ternyata orang tersebut lebih dekat kearah tujuannya. Maka keputusan Allah adalah menerima hambaNya ini di syurgaNya’.

Itulah harapan yang tiada batas. Harapan yang mambawa kehidupan baru dalam hidup seorang hamba. Dan karenanya, menurut Al-Qur’an ‘sikap putus asa itu hanya dimiliki oleh mereka yang kufur’ (Al-Qur’an). Orang yang beriman akan selalu memiliki harapan untuk baik dan merubah hidup menjadi lebih baik. Dan harapan itu sangat terkait dengan ‘Rahmat’Nya Ilahi yang menaungi semuanya. Sebagaimana firmanNya ‘Sesungguhnya rahmatKu melampaui segala sesuatu’ (Al-Qur’an).

Sisi Horizontal

Sikap pemaaf dan mudah memaafkan ternyata menjadi salah satu ciri penting seorang hamba. Allah menyampaikan ‘Dan jika kamu memaafkan maka itu lebih dekat kepada ketakwaan’ (Al-Qur’an).

Barangkali ayat di S. Ali Imran akan menjelaskan lebih gamblang cir-ciri ketakwaan ini. Pada ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa dalam menghambakan diri kepada Allah, dituntut keseriusan dan kerja keras. Bahkan sangat dianjurkan untuk memiliki spirit ‘persaingan’ (dalam makna positif) untuk menggapai kemenangan. Allah memulai dengan mengatakan ‘Berlomba-lombalah kamu dalam menggapi magfirah Tuhanmu dan dalam upaya masuk ke dalam syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang telah disiapkan bagi orang-orang yang tertakwa’.

Siapakah yang dimaksud orang-orang yang bertakwa itu menurut ayat ini? Mereka adalah orang-orang yang memiliki ciri-ciri berikut: ‘Yaitu mereka yang menafkahkan hartanya di saat lapang maupun sulit, menahan marah, serta memaafkan manusia. Mereka itulah orang-orang yang berbuat kebajikan (muhsinuun)’ (Al-Aur’an).

Orang-orang yang bertakwa itu bercirikan: pertama, ringan tangan dalam meringankan beban orang lain, baik secara komunitas maupun secara pribadi. Maknanya, orang yang tertakwa itu adalah pemurah sebab dia sadar kepemurahan Allah atas dirinya.

Kedua, dia mampu menahan marah. Ayat ini tidak mengatakan bahwa orang bertakwa itu tidak marah. Melainkan ketika dia marah dia mampu menahan marah. Marah adalah bagian dari tabiat manusia, dan semua manusia pasti akan mengalami suatu saat di mana Susana batinnya akan marah, termasuk Rasulullah SAW. Yang membedakan antara kita dengan rasulullah SAW adalah bahwa beliau hanya marah karena kebenaran (lil haqq). Selain itu jika beliau marah, maka marahnya beliau akan diredam dan disalurkan pada saluran positif dan kebenaran. Sebaliknya, terkadang kita marah lebih didorong oleh ego dan ‘self interests’. Dan jika marah terkadang tidak terkontrol, maka terjadilah hal-hal yang destruktif.

Ketiga, dia memiliki sifat dan sikap pemaaf (al-aafiina anin naas). Ketika seseorang marah maka tentu ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama adalah penyaluran negative, termasuk ‘mengutuk’ (cursing), memukul, menendang, melempar, dan semacamnya. Atau kedua, merenung lalu mencari celah untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan jalur yang positif. Jalur yang positif tertinggi adalah ‘memaafkan’. Dan ini menjadi salah satu ciri ketakwaan yang agung.

Pertanyaannya adalah kenapa memaafkan itu begitu penting dan menjadi cirri khas orang-orang yang bertakwa? Ada beberapa alasan yang dapat diberikan:

Satu, karakter pemaaf menjadi refleksi akhlaaaqiyat Allah (karakter yang mencontoh akhlak Allah SWT). Hadits ‘takhallaquu bi akhlaqi Allah’ (berakhlaklah dengan akhlak Allah) bermakna memiliki karakter sebagai karakter-karakter Allah SWT, sesuatu dengan batasan dan kapasitas kita sebagai manusia. Allah sebagai pemaaf (Ghafuur, Ghaffar, ‘Afuwwun, Tawwaab) seharusnya terefleksi dalam sifat dan sikap kita terhadap sesama. Alangkah anehnya, jika setiap saat melakukan kesalahan, dan setiap saat pula Allah membuka pintu maaf bagi kita, namun kita begitu kikir dalam memaafkan orang lain. Seolah dalam bahasa perbuatan (lissan al haal) kita mengatakan bahwa kebaikan itu hanya datangnya dari yang lain, sementara kita sendiri hanya berada pada posisi untuk menerima kabaikan. Tentu ini bukanlah sifat orang yang bertakwa. Karena sifat ketakwaan, salah satunya, adalah memiliki sifat ihsan kepada yang lain.

Dua, karakter pemaaf merupakan refleksi kerendah hatian (tawadhu’) seorang hamba. Ketika seseorang memaafkan orang lain maka secara tidak langsung pertama kali adalah pengakuan akan ketidak sempurnaan dirinya sendiri. Dalam hati sanubarinya akan berkata ‘hari ini saudarav saya bersalah dan perlu dimaafkan, boleh jadi esok hjari saya yang berbuat salah dan saya memerlukan sesorang untuk memaafkan saya sendiri. Untuk itu, di saat orang lain memerlukan maaf saya maka saya perliu memaafkan untuk saya dengan mudah pula dimaafkan di saat nantinya saya berbuat kesalahan.

Pasalnya adalah bahwa tiada seorang pun yang ma’shum, terkecuali para nabi dan rasulNya. Oleh karenanya, ketika seseorang tidak mau memaafkan, sebenarnya seolah berkata bahwa saya tidak perlu maaf dari siapapun, toh saya tidak akan betrbuat salah kepada siapa saja. Dan jika ini terjadi, maka itulah kesombongan yang tidak perlu terjadi.

Tiga, karakter pemaaf juga merrupakan pengakuan akan hakikat eksistensi kebaikan pada setiap orang. Maknanya, sejahat apapun seseorang, niscaya dia memiliki kemungkinan untuk baik. Perbuatan dosa dan kesalahan bukan akhir dari harapan untuk baik. Hal ini karena pada setiap insan ada dasar penciptaan yang di atasnya diciptakan semua manusia. ‘Fitrah Allah yang darinya setiap manusia diciptakan. Tiada pergantian/perubaha n pada fitrah tersebut’ (Al-Qur’an).

Ayat yang tersebut di S. Ar-Rum itu menggambarkan bahwa tanpa kecuali semua manusia itu memiliki ‘sinar sejati’ dalam dirinya karena memang itulah asas penciptaannya. Kesalahan yang dilakukan hanya refleksi kemanusiaannya yang turut serta dilengkapi oleh ‘hawa nafsu’. Untuk itu, ketika seorang manusia berbuat salah, sesungguhnya bukan karena dia berubah menjadi makhluk lain, dan kehilangan jati diri (fitrah) tapi sekedar kelemahan sehingga dia terseret oleh tarikan hawa nafsunya.

Untuk itu, di saat diomaafkan berarti pula merupakan pengakuan bahwa orang tersebut masih memiliki ‘kesempatan’ untuk kembali ke fitrahnya. Atau masih ada harapan untuk kembali menjadi manusia yang baik. Contoh terdekat dari ini adalah ketika rasulullah mendoakan salah satu dari diua orang terjahat di Mekah dengan doanya ‘Allahumma ihdi ahada Umaraen’ (ya Allah tunjukilah salah satu dari dua Umar). Ternyata Allah mengabulkan doa beliau dan ditunjukiNya Umar ibnu Khattab r.a. Kenapa salah satu Umar ini didoakan? Karena sejahat apapun mereka, mereka ada potensi yang masih dapat diharapkan dan bahkan menjadi potensi perjuangan umat ke depan.

Empat, memaafkan juga merupakan ‘syifaa’ (obat) yang mujarab, baik bagi yang memaafkan maupun yang dimaafkan. Bagi yang memaafkan, maka dia akan menjadi tenang dan kembali berlapang dada/.eorang yang tidak mau memaafkan akan selalu memendam amarah, sakit hati dan kebencian. Oleh karenanya akan beraty baginya merasakan ketenangan dan kedamain hidup. Di malam harin akan susah merasakan nyenyaknya tidur, di siang hari akan susah merasakan lezatnya makan. Yang paling berbahaya adalah jika amarah terseb ut diikuti oleh upaya-upaya balas dendam, disitulah awal bencana yang akan ditanamkan oleh syetan dalam dirinya.

Bagi yang dimaafkan maka ini merupakan obat mujarab untuk memungkinkan baginya menjadi baik. Memaafkan orang yang salah sesungguhnya juga memberikan obat mujarab kepadanya untuk mengobati penyakit hati (maradh qalbi) yang ada padanya. Kesalahn yang dilakukannya merupakan refleksi dari adanya ‘sakit hati’, karena dalam hadits disebutkan ‘jika hati baik maka baik semua amal. Tapi jika hati rusak (sakit) maka rusaklah seluruh amalan’ (hadits).

Oleh karenanya ketika seseorang dimaafkan maka itu ‘peringatan’ baginya akan adanya ‘fitrah’ terselubung yang memungkinkan baginhya untuk menjadi orang baik. Pada zaman Rasulullah SAW ada seorang pemuda yang telah menjadi Islam, rajin shalat, puasa, dll. Tapi suatu ketika dia menghadap kepada Rasulullah SAW dan meminta izin untuk berzina. Ketika Umar mendengar dia meminta izin, Umar hendak memenggal leher anak muda tersebut karena dianggap sangat kurang ajar terhadap Rasul Allah SAW. Oleh rasulullah Umar ditahan dan beliau diingatkan ‘mahlan ya Umar!’ (pelan-pelan wahai Umar). Rasulullah kemudian mengajak sang pemuda itu mendekat kepadanya, lalu tangan beliau diletakkan di dadanya dan ditanya ‘apakah kamu punya ibu?’ Dijawabnya ‘iya punya’. Rasulullah bertanya lagi ‘apakah kamu punya saudari perempuan?’. Dijawabnya ‘iya punya’. Rasulullah kemudian betrtanya ‘apakah kamu punya tante?’ Dijawabnya ‘iya punya’. Rasulullah kemudian mengatakan ‘apakah kamu suka jika ada yang melakukan itu dengan ibumu, saudarimu, atau tantemu?’ Sang pemuda menjawab ‘tidak!’. Rasulul;lah kemudian menasehatkan ‘sesugngguhnya semua wanita itu adalah seorang ibu, saudari atau tante dario orang lain. Dan tak seorangpun yang akan menyukai hal tersebut jika terjadi pada ibu, saudari atau tantenya’. Lalu rasulullah mendokan anak muda terseb ut ‘ya Allah sucikanlah hatinya!’.

Sejak hari itu, anak muda tersebut tidak pernah berpikir yang tidak-tidak dan bahkan menjadi salah seorang anak muda yang paling taat di Madinah.

Perintah Allah kepada Rasulnya

Sebagai penutup akan saya kutipkan sebuah ayat yang mungkin dalam pikiran manusiawi kita sangat berlebihan. Bayangkan, Rasul Allah SAW pada ayat ini diperintah untuk memaafkan mereka yang bersalah kepadanya. Bukan Cuma itu, tapi memintakan ampun bagi mereka. Bahkan lebih dari itu, dan ini mungkin yang berat, yaitu diperintah untuk meminta masukan (musyawarah) dari mereka.

Ayatnya adalah ‘Maka disebabkan karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari skelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah an piun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kermudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya’ (Al Imran:159).

Sungguh indah ajaran Islam ini. Sungguh agung ajaran akhlak mulia Allah yang disampaikan kepada kita lewat ‘uswah hasanah’ manusia, Rasulullah SAW. Semoga kita diberikan taufiq dan hidayahNya dalam membangun sifat mulia ini. Mudah menyadarin akan dosa dan kesalahan, lalu rendah hati dan segera memohon ampunan kepada sang Pencipta. Tapi semoga pula, dengan dorongan rendah hati dan ketakwaan, menjadikan kita mudah berlapang dada untuk saling memaafkan. Semoga!
Baca Selengkapnya →Pemaaf adalah Sifat- Nya

Husnudzon vs Su’udzon

Hati mudah sekali terbolak-balik, kadang ´terang´, kadang ´gelap´. Ketika hati ´terang´, Saya suka merasa sangat bahagia,bahkan kadang berlebihan sehingga tak jarang timbul rasa bangga hati, sombong, ujub, sum´ah, dan riya.
Ketika hati ‘gelap’, Saya suka merasa sangat pesimis, putus asa, merasa sangat buruk luar biasa, tidak berharga sama sekali, merasa Ia Yang Maha Kuasa tidak menginginkan Saya untuk menjadi hamba sejati-Nya. Saya sendiri sering dicoba dengan ´terang-gelap´, sehingga Saya letih bermain dengan prasangka buruk saya kepada Allah Yang Maha Cinta Kasih-Maha Suci Allah dari apa yang sering Saya prasangkai buruk selama
ini.
Sehingga terkadang Saya mencoba melepaskan diri dari apa yang Saya prasangkai terhadap Allah. Akhirnya timbul dari pemikiran saya, bahwa mungkin semua ini merupakan ujian Allah sampai Saya benar-benar kuat, tidak goyah dalam pengabdian kepada-Nya.
Jadi, Saya harus terus-menerus mencoba membangun prasangka baik kepada Allah,sehingga Saya akan terus merasa Ia Yang Maha Pengampun dan Penerima Taubat senantiasa membukakan pintu
taubat dan pengampunan-Nya untukku, dan Ia Al Haadii akan senantiasa
membimbing saya dan terus membimbing hingga Saya bertemu dengan-Nya. Amin .
Apapun yang terjadi, seharusnya, dapat Saya sikapi dengan bijak, dengan
hanya Melihat-Nya Sang Pemberi; masalah-masalah ynag kuhadapi, apapun
itu, kecil ataupun besar, semuanya adalah sarana yang kan membawSaya
kepada Allah SWT. Amin.
Ketika Saya dengan prasangka buruk bergaul dengan para manusia, yang terasa di hati adalah perasaan kesal, sebal, dan terlintas benci
kepada mereka. Astaghfirullahal ´adzhiim.
Ketika Saya ´lurus-tulus´
bergaul dengan para manusia, maka yang terasa di hati adalah
bunga-bunga cinta kasih, sehingga apa yang terbawa akan senantiasa merasa
bahagia, dan Saya akan selalu tersenyum; memperlihatkan kebaikan dan
keramahan. Jadi, ´lurus dan tulus´lah kepada siapapun, karena sesungguhnya berprasangka buruk itu tidak akan menghasilkan kebenaran yang hakiki.
Dan juga, apabila ada prasangka buruk, maka pembicaraan yang ada sering tersalahpahami. Hmmm … pantas … hubunganku dengan Allah belum baik. Hmmm … pantas … hubunganku dengan sesama manusiapun belum baik.
Baca Selengkapnya →Husnudzon vs Su’udzon

Ahlaq Nabi Terhadap Kaum yang Menganiaya..Mampukah Kita Beruswah ?

Dari Abi Abdirrahman Abdillah ibni Mas’ud ra berkata, “Seolah aku
masih melihat Rasulullah SAW tengah menceritakan seorang nabi di
antara para nabi shalawatuhu wa salamuhu alaihim yang dipukul oleh
kaumnya hingga berdarah. Nabi itu lalu menyeka darah dari wajahnya
seraya berdoa, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak
tahu”". (HR. Muttafaqun ‘alaihi)

Penjelasan: Kisah tentang kesabaran para nabi dalam menanggung siksaan
ketika menyampaikan dakwah kepada manusia. Di antara akhlaq nabi adalah menjawab kejahilan dengan permohonan ampun dan toleransi.
Anjuran untuk tidak meladeni kekasaran orang jahil dengan tindakan yang seperti mereka laksanakan
Baca Selengkapnya →Ahlaq Nabi Terhadap Kaum yang Menganiaya..Mampukah Kita Beruswah ?

Derajat Ikhlas

Penjelasan Tentang Tingkatan Ikhlas dan Bahaya yang Mengeruhkan Ikhlas dalam Kitab Ihya Ulumuddin

Ketahuilah, bahwa bahaya-bahaya yang mengganggu ikhlas itu sebagiannya jelas dan sebagiannya itu kuat serta tersembunyi. Dan tidak dapat dipahami perbedaan derajat-derajat dalam hal tersembunyi dan jelas kecuali dengan perumpamaan.

Paling jelas bahaya yang menggenggam ikhlas adalah riya.

Syetan memasukkan bahaya atas orang yang mengerjakan shalat manakala ia ikhlas dalam shalatnya, kemudian seseorang masuk, lalu syetan berkata, “Baguskanlah shalatmu, sehingga org yg hadir ini memandang kepadamu dengan pandangan kewibawaan dan kebaikan dan ia tidak memandang hina kepadamu dan tidak mengumpatmu.”
Maka anggota badannya khusyu, sendi-sendinya tenang dan shalatnya baik.Dan ini adalah riya yang tampak dan demikian itu tidak tersembunyi atas orang-orang yang pertama dari para murid murid.

Derajat yang KEDUA: bahwa murid itu telah memahami bahaya ini dan ia berhati-hati padanya, lalu ia berpaling dan tidak mentaati syetan dan melanjutkan shalatnya.

Lalu syetan mendatanginya dengan menampakkan kebaikan dan berkata, “Kamu adalah orang yang diikuti dan diteladani dan dipandang. Dan apa yang kamu perbuat itu membekas padamu dan orang lain mengikutimu. Maka bagimu pahala amal perbuatan mereka kalau kamu membaguskan amalmu dan atasmu dosa kalau kamu menjelekkan amalmu. Maka baguskanlah amalmu di hadapannya. Mudah-mudahan ia mengikutimu dalam kekhusyukan dan membaguskan ibadah.”

Ini adalah lebih samar daripada yang pertama. Kadang-kadang tertipu padanya orang yang tidak tertipu dengan yang pertama. Dan inu juga riya yang sebenarnya dan merusak keikhlasan.

Derajat KETIGA: bahwa seorang hamba berhati-hati terhadap tipu daya syetan. Maka ia membaguskan shalatnya di tempat yang sunyi agar shalatnya bagus di hadapan orang banyak. Maka dia tidak membedakan antara keduanya. Maka perhatiannya di tempat yang sunyi dan di keramaian adalah kepada makhluk.

Derajat KEEMPAT, dan ini adalah yang lebih halus dan lebih tersembunyi: bahwa manusia memandang kepadanya, sedang ia tengah melakukan shalat, lalu syetan lemah untuk berkata kepadanya, “Khusyuklah karena mereka”, karena syetan mengerti bahwa orang itu lebih cerdas terhadap demikian. Lalu syetan berkata kepadanya, “Berpikirlah ttg kebesaran Allah Ta’ala dengan keagunganNya dan tentang Tuhan yang kamu berada di hadapanNya dan malulah bahwa Allah melihat kepada hatimu, sedang ia lalai kepadaNya. Lalu dengan demikian hatinya hadir dan anggota badannya khusyuk dan ia menduga bahwa demikian ikhlas yang sebenarnya, padahal itu adalah tipu daya dan penipu yang sebenarnya.

Sesungguhnya khusyu, jikalau pandangannya kepada keagungan Allah, niscaya goresan ini terus menerus padanya di tempat sunyi dan niscaya hadirnya goresan hati tersebut tidak tertentu dengan keadaan hadirnya orang lain.

Tidak selamat dari syetan kecuali orang yang halus pandangannya dan bahagia dengan penjagaan Allah Ta’ala, taufiq-Nya dan petunjuk-Nya. Kalau tidak, maka syetan itu tidak meninggalkan orang-orang yang rajin ibadah kepada Allah Ta’ala. Ia tidak lalai dari mereka sekejap pun, sehingga ia membawa mereka kepada riya pada setiap gerakan, sehingga pada mencelaki mata, menggunting kumis, memakai wewangian di hari Jum’at dan memakai pakaian.

Karena itulah dikatakan, “Dua rakaat dari orang yang alim itu lebih utama daripada ibadah setahun dari orang yang bodoh.”
Baca Selengkapnya →Derajat Ikhlas

Berlatih untuk sabar

Sekian lama aku belum pernah berlatih untuk sabar, sekarang pun baru
“mencoba belajar berlatih sabar”, karena untuk mau latihan pun
dibutuhkan dibutuhkan niat dan tekad yang kuat; jadi sekarang aku baru
“mencoba belajar berlatih sabar”.

Sebagai seorang yang ingin Mencari Allah, kita harus menjadi seorang
yang “baik”, baik secara bathin maupun secara lahir. “Baik” itu
mengandung arti berakhlak baik, karena Rasulullah SAW diutus Allah SWT
untuk menyempurnakan akhlak yang baik, dimana menurut Al-Quran, di
akhirat nanti yang di timbang dari diri manuisa adalah al-haqqnya.

QS. Al-Mu´minun (23) : 102

“Barangsiapa yang berat timbangan al-haqqnya, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”Al-haqq yang kita miliki akan membuahkan akhlak yang baik. Kita tidak
akan pernah dapat menemukan apa yang menjadi amal shaleh kita apabila
kita tidak berakhlak baik. Seseorang dapat berakhlak baik hanya
apabila Allah yang menganugerahkannya kepadanya; dianugerahkan kepada
orang yang sabar sebagai tanda ´syukur´-Nya kepada kita, sementara
sabar itu sulit, lebih sulit daripada belajar matematika – itu adalah
saya, yang kalau mendapatkan nilai 6 saja untuk pelajaran matematika
sudah merupakan prestasi. Namun untuk pelajaran sabar, baru bisa
dikatakan berprestasi apabila mendapatkan nilai 10. Nilainya harus
sempurna, tidak ada “setengah sabar”.

Dalam kehidupan sehari-hari, coba ingat lagi, berapa banyak sudah kita
menjumpai pelajaran sabar dalam peristiwa yang kita alami.

Penerbangan dari Jakarta ke Jerman, misalnya, yang memakan waktu
berkisar selama 16 sampai 24 jam (kalau naik pesawat paling murah),
membosankan, walaupun bisa melakukan beberapa kegiatan sambil duduk;
ya, sabar. Perut lapar, tapi kita sedang berpuasa, misalnya berpuasa
di Bulan Ramadhan; ya, bersabar untuk tidak makan sampai waktu buka
tiba; Hati kesal karena baru saja ada orang yang menghina kita; maunya
kita langsung marah-marah, tapi kan tidak boleh seperti itu. Ya,
bersabar untuk tidak sampai marah. Ada anak kecil yang tidak sengaja
menendangkan bolanya dengan sekuat tenaga ke kepala kita; ya, bersabar
untuk tidak marah kepadanya dengan berusaha tersenyum, kalau bisa kita
memberikan coklat yang baru saja kita beli karena anak kecil itu telah
sudi menjadi ´utusan´ Allah untuk menguji kesabaran kita; Misalnya
lagi, naik angkot yang jalannya lambat sekali; ya, bersabar tidak
menggerutu apalagi sampai menghardik Pak Supir yang budiman. Dan sabar
lagi ketika angkot tidak berhenti tepat di depan tempat tujuan kita,
tapi malah berhenti tepat di depan kubangan air kotor, apalagi setelah
turun uang kembaliannya tidak ada. Sudah itu, rok atau celana kita
tidak sengaja terkena permen karet yang menempel di jok angkot.

Di atas itu adalah berupa contoh-contoh yang ´tidak sengaja´ — dalam
artian kita tidak kita kondisikan — kita ´hadapi´ yang terkadang
ketika kita siap dalam menghadapinya, maka kita bisa bersabar; namun
tak jarang juga kita tidak siap menghadapinya, sehingga kita tidak
lulus dalam pelajaran bersabar dalam suatu peristiwa. Allah memberikan
peristiwa-peristiwa ´tidak sengaja´ tersebut kepada kita sebagai
latihan bagi kita untuk bisa menjadi orang yang sabar.

Kita bisa membuat latihan yang kita ´sengaja´kan adanya bagi diri kita
untuk belajar sabar. Untuk apa, sih, membuat latihan sabar yang kita
´sengaja´kan, tho latihan itu sendiri sudah sering kita dapatkan,
walaupun dengan status ´tidak sengaja´? Apa kita mau mencari ´repot´
dengan mencari-cari masalah, sementara kita sendiri sering banyaknya
gagal dalam menghadapi ujian sabar?

Bagi saya pribadi, karena seringnya saya tidak siap, lalu gagal
bersabar ketika latihan sabar yang ´tidak sengaja´ itu saya hadapi;
membuat latihan sabar yang ´sengaja´ saya kondisikan setidaknya
sedikit demi sedikit saya berharap dapat memupuk kesabaran saya.
Latihan sabar yang ´tidak disengaja´ saya tidak tahu kapan datangnya,
sementara latihan sabar ´disengaja´ saya tahu waktunya karena sengaja
saya kondisikan. Semoga pada saat datang latihan sabar yang ´tidak
disengaja´, saya sudah bisa lebih siap menghadapinya sehingga bisa
lebih bersabar; kemarin nilainya minus 30, sekarang semoga nilainya
bisa menjadi minus 15; secara bertahap dan perlahan, namun berharap
selalu ada pertambahan nilai pada ujian kesabaran berikutnya. Latihan
sabar ´disengaja´ ini bersifat rutin, saya bisa mulai dari hal
teramat kecil yang sebelumnya saya suka abaikan.

Setiap habis shalat, misalnya, saya lebih suka menggulung perlengkapan
shalat saya, lalu meletakkannya di lantai begitu saja; terlihat tidak
rapih. Saya melakukan hal itu dengan alasan, “Nanti tho insya Allah
shalat lagi, ngapain capek-capek bulak-balik melipat. Lagian menghemat
waktu juga. ”

Melalui kebiasaan buruk saya itu, saya mencoba latihan sabar dengan
melipat perlengkapan shalat saya dengan rapih, lalu memasukkannya ke
dalam lemari. Bayangkan! Saya harus melipat sajadah, baju shalat,
mukena atas-bawah; mukenanya susah dilipat pula (´bergerak´ ke sana ke
mari karena kainnya licin). Saya tidak tahu sebenarnya, apakah
perilaku saya sebelumnya yang tidak melipat perlengkapan shalat itu
benar atau salah, soalnya kalau melihat alasannya bisa benar juga, ya
… hehehehe … Namun karena intinya saya ingin membuat semacam
latihan sabar ´disengaja´ bagi diri saya sendiri, ya, sudah, deh, saya
mencoba merubah kebiasaan saya, secara kontinu. Godaan untuk kembali
kepada kebiasaan lama tentu saja ada. Kegagalan pun terkadang masih
´menampilkan´ dirinya.

Sehabis shalat, seringkali juga saya malas berdzikir lisan dan berdoa,
terutama kalau tidak mempunyai ´kebutuhan´ apapun kepada-Nya. Oke,
deh! Kemalasan saya itu saya jadikan sebagai latihan sabar
´disengaja´; saya mencoba menguatkan diri untuk berdzikir lisan dan
berdoa. Walaupun terlihat terpaksa dan formalitas (ampuni hamba, ya,
Allah. Amin), saya mencoba ambil dari sisi latihan sabarnya.
Bayangkan! Waktu setengah jam, misalnya, yang sebelumnya bisa dipakai
untuk menonton film kartun kegemaran saya di televisi, menjadi
dipakai untuk waktu berdzikir lisan dan berdoa; sementara ketika
melakukan dzikir lisan dan berdoa itu, sayup-sayup terdengar oleh
telinga saya suara-suara ´heboh´ film kartun kegemaran saya; Betapa
rasanya tubuh ini terus-menerus ingin bangkit dari duduk di atas sajadah.

Membaca doa sebelum melakukan suatu kegiatan juga dapat merupakan
latihan sabar ´disengaja´, disamping menumbuhkembangkan rasa butuh
kita kepada Allah. Coba saja, sebelum masuk toilet – apalagi toilet
umum — harus membaca doa dulu; berdiri sebentar di depan toilet,
padahal sudah tidak tertahan atau ada orang yang melihat ´keanehan´
kita yang berdiri beberapa detik-1 menit di depan kamar mandi. Mau
makan, sudah lapar – apalagi bau makanan yang begitu menggugah selera,
tetapi harus menahan diri dulu beberapa lama sebelum langsung makan
begitu makanan terhidang di hadapan kita. Pertama, tunggulah
makanannya sampai tidak panas lagi (kalau tidak salah, Rasulullah SAW
melarang kita memakan makanan yang masih panas, ya … Ada yang tahu
alasannya, gak?). Selesai berdoa, latihan sabar dilanjutkan : Makanlah
nasi putihnya terlebih dahulu sebanyak 3 sendok makan – lebih latihan
sabar lagi kalau makannya pakai 3 jari, hehehehe ….. Setelah itu
berlanjut lagi latihan sabarnya : ambillah makanan yang terhidang
paling dekat dari diri kita, sementara kita ingin makan makanan yang
paling jauh letaknya dari kita; namun kalau cuma ada satu makanan,
sementara kita pengen banyak, ini juga merupakan latihan bersabar dan
bersyukur, tentunya.

Bersabar tidak ada batasnya. Manusia harus selalu bersabar atas apapun
yang sedang dihadapinya. Kalau kita ingin menjadi baik, ya itulah
syaratnya : sabar.

Segitu saja dari saya … makasih banyak, ya …., sudah mau bersabar
mencoba membaca tulisan saya yang sedang “mencoba belajar berlatih
sabar” ini …

Ok, deh, Insya Allah disambung kapan2 dalam waktu yang tidak dapat
ditentukan …

Terakhir, bonus …

QS. Al-Baqoroh : 45, 46

“Dan mintalah Pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyuk, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya (Ilaihi
raaji´un).”
Baca Selengkapnya →Berlatih untuk sabar
@Copyright by: Memories In My Life Yudi Gp