Selasa, 06 Juli 2010

“INDIKASI KEGAGALAN DAN KESUKSESAN DALAM SULUK”

“Tanda-tanda Kegagalan dan keberhasilan Perjalanan Menuju Allah”
menurut Ibnu Atha’illah Al-Iskandari

Terdapat 10 penyakit yang bisa menggagalkan perjalanan
seseorang menuju Allah, yakni;.. melihat amal, panjang
angan-angan, merasa telah sampai ke tingkat wali,
menunduk kepada makhluk, merasa puas dengan
penglihatan mimpi, bersuka cita dengan wirid,
bersenang-senang dengan karunia yang diterima, berdiam
terhadap janji, merasa cukup dengan pengakuan dan
lalai terhadap Allah,Sedangkan tanda bahwa seseorang jatuh nilainya dalam
pandangan Allah ada 3,..
Ridha terhadap diri sendiri, tidak ridha terhadap
Allah serta melawan qada dan qadar Allah.

Tanda dekatnya seseorang dari Allah juga ada 3,…
Tidak mementingkan dirinya, menegakkan kebenaran dan
tawadhu terhadap makhluk.

Sementara tanda bahwa seseorang telah sampai kepada
Allah jug
a ada 3,…
Memahami Allah, mendengarkan Allah dan mengambil semua
yang berasal dari Allah.

Tanda orang yang menggantungkan diri kepada Allah pun
ada 3,…
Tidak ikut memilih, tidak ikut mengurus dan tidak ikut
mengatur

Tanda bahwa seseorang mewakili Allah adalah ketika ia
mengganti sifat-sifat fananya dengan sifat-sifat yang
abadi dan melenyapkan zatnya yang fana dalam Zat yang
Abadi.
Allah senantiasa memberi kekuasaan-Nya kepada siapa
yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha
Mengetahui.

Tanda bahwa seseorang hamba benar-benar mencintai
Allah ada 3,…
Tidak ikut memilih, menganggap baik semua realitas
takdir, serta menyaksikan kesempurnaan sang Kekasih
dalam segala sesuatu disertai kepasrahan total
kepadaNya.

Sebaliknya, tanda bahwa seseorang dicintai Allah juga
ada 3,…
Ridha kepadanya atas apa yang dilakukannya,
membicarakannya dan memberikan rahasia kepadanya lewat
hikmah-Nya yang mendalam sebagai dalil atas-Nya.

Akhlak seorang Salik

Ketahulilah, bahwa jalan menuju Allah haruslah
senantiasa bersih dari sikap menentang dan nafsu yang
menyimpang. Pemberian alasan, sikap toleran dan
kelembutan pada sesuatu yang mengarah pada
penyimpangan dari jalan Allah adalah tidak boleh ada
di dalamnya. Karena itu, perbuatan yang jelas-jelas
melanggar syariat adalah layak dikecam dan tidak boleh
diberi maaf. Sikap toleran hanya berlaku dalam sesuatu
yang terkait dengan hak-hak pribadi.
Seorang salik yang hendak menapak jalan menuju Allah,
haruslah berusaha memberi-kan apa yang menjadi hak
orang tanpa menuntut balas dari mereka.
Ia juga harus menerima alasan orang tanpa berusaha
mencari alasan untuk diri sendiri.
Selain itu, ia harus menolong tanpa berusaha untuk
ditolong, harus memperlakukan manusia dengan sikap
kasih dan sayang, serta berinteraksi bersama mereka
dengan mengembangkan sikap saling menasehati.
Ia tidak boleh dengki dan iri dalam apa yang Allah
berikan pada orang.
Tidak berteman dan duduk bersama wanita. Serta tidak
bersahabat dan bercengkrama dengan anak-anak muda.

Seorang salik juga harus berusaha menepati janji,
berkata benar dan bersikap wara’ entah itu terkait
dengan ucapan, makanan, pandangan dan seterusnya.
Ia tidak boleh bersikap riya, harus menjaga adab-adab
syariat –baik yang kecil maupun yang besar- kalau
sudah mengetahui. Kalau belum mengetahui, ia harus
bertanya. Orang yang berani mengkhianati adab-adab
syariat akan lebih berani lagi mengkhianati
rahasia-rahasia ilahi. Karena itu, Allah hanya akan
memberikan rahasiaNya kepada mereka yang bisa
dipercaya.

Seorang salik tidak boleh memilih, sebab ia bersama
pilihan Allah.
Ia juga harus meninggalkan hal-hal yang mubah, sebab
memperhatikan hal yang mubah itu hanya akan
membuang-buang waktu. Salik yang masuk ke dalam jalan
ini, kalau sudah menjadi suami, hendaknya tidak
menceraikan isterinya. Atau kalau masih bujang
hendaknya tidak menikah dulu sampai sempurna. Dan jika
sudah sempurna ia akan mendapat pemberian Allah.

Seorang salik harus jujur. Ia hanya berbicara dengan
apa yang ia saksikan.
Ketika salik atau murid mengunjungi seorang syekh,
qalb-nya harus kosong agar ia bisa menerima apa yang
diberikan oleh syekhnya itu. Ia tidak boleh
mengingkarinya. Jika sulit diterima, ia harus
mengevaluasi diri dengan berkata,… “Saya belum sampai
pada kedudukan ini.” Ia tidak boleh menganggap
syekhnya yang salah. Siapa yang menemui syekh untuk
mengujinya, berarti ia adalah seorang yang bodoh.
Hendaknya ia meminta sang syekh untuk berbicara
tentang persoalan khatir. Tetapi, yang mestinya ia
minta adalah agar sang syekh tersebut mengajarkan
kotoran-kotoran jiwa beserta obatnya, juga agar ia
menerangkan hal-ihwal seorang murid, bukan hal-ihwal
kaum arif.

Apabila seorang salik menyaksikan ada orang yang
sedang berbuat maksiat, janganlah ia mempunyai
keyakinan bahwa maksiat tersebut dilakukan seterusnya.
Namun, hendaknya ia berkata,… “Barangkali ia bertaubat
pada saat tak dilihat orang…” atau “Barangkali maksiat
tersebut tidak mengkhawatirkan karena mungkin Allah
menolong ia di akhir hidupnya.” Seorang salik tidak
boleh mempunyai prasangka buruk terhadap seseorang
kecuali yang memang telah Allah tampakkan akhir
kehidupannya. Para salik juga tak boleh berprasangka
baik terhadap dirinya. Siapa yang memandang dirinya
lebih baik dari orang lain, padahal ia belum
mengetahui keadaannya dan keadaan orang tersebut di
akhir hidupnya, berarti ia bodoh terhadap Allah,
tertipu dan tidak memiliki kebaikan. Meskipun ia
diberi pengetahuan, tetapi sebetulnya ia tidak diberi.
Meremehkan ilmu yang hakiki berarti meremehkan Allah.
Dan tentu saja hal tersebut bertentangan dengan sifat
kewalian.
Ciri-ciri seorang salik adalah ia selalu membersihkan
diri dari berbagai perangai buruk dan mengisinya
dengan berbagai akhlak yang terpuji.
Ia senantiasa sabar menghadapi gangguan orang dan
tidak menyakiti.
Hendaknya ia senang membantu orang dalam hal
kebajikan, mengasihi orang yang lemah, menunjuki orang
yang sesat dan bodoh, menyadarkan orang yang lalai dan
tidak membuat hijab.
Setiap orang yang meminta pertolongannya, selalu
dibantu.
Setiap orang yang ingin menemuinya, selalu bisa
bertemu.
Ia tidak menutup diri dari orang, selalu memberi
kepada yang meminta, menghormati tamu, menghibur orang
yang sedang merana, menenangkan orang yang sedang
cemas, memberi makan orang yang lapar, memberi minum
orang yang haus, memberi baju kepada orang yang
telanjang, membantu pelayan, selalu melakukan
perbuatan mulia dan tidak melakukan perbuatan tercela.

Diantara ciri salik lainnya adalah selalu melakukan
mujahadah jasmani seperti menahan rasa lapar dan haus,
serta berujung dalam empat hal,…
 Kematian putih, yaitu menahan lapar,
 Kematian merah, yaitu menentang hawa nafsu,
 Kematian hitam yaitu bersabar dalam memikul
beban, serta
 Kematian hijau yaitu memakai tembelan
berlapis.

Seorang salik juga lebih mengutamakan orang lain,
selalu bersandar kepada Allah dalam semua hal, ridha
dengan semua ujian dariNya, bersabar dalam menghadapi
berbagai macam penderitaan, meninggalkan tanah air,
menjauh dari makhluk tanpa memandang mereka sebagai
orang yang buruk, namun semata-mata karena lebih
mengutamakan Allah ketimbang makhluk. Ia memutuskan
segala hubungan yang bisa menjadi penghalang, selalu
berusaha untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia
setelah selesai membenahi dirinya sendiri. Siapa yang
berusaha memenuhi hajat mansuia sebelum ia memperbaiki
diri sendiri, berarti orang tersebut sebenarnya
menginginkan kedudukan dan pujian.

Diantara akhlak salik adalah bersikap Qana’ah, yaitu
merasa cukup dengan pemberian yang ada tanpa mengharap
tambahan karunia. Lalu ia juga selalu berusaha agar
dirinya senantiasa berada dalam keadaan suci. Malaikat
berkata kepada Allah, “Kami tinggalkan mereka dalam
keadaan shalat….”
Akhlak lainnya adalah berdo’a kepada Allah untuk
menunjukkan keberadaan dirinya sebagai hamba,…
sekaligus menunjukan kefakiran, kehinaan, kekhusyukan,
ketundukan dan sikap tawadhu kepadaNya. Hal itu
dilakukan karena keberadaan asma-asma Allah yang
selaras dengan sifat tersebut. Tidak ada yang
mengetahui rahasia dari asma-asma Tuhan tersebut
kecuali orang yang bertingkah laku dengan sifat-sifat
yang mencermin-kan asma itu.
Seorang salik juga melihat pada aibnya, sibuk dengan
dirinya, dan berusaha untuk tidak melihat aib orang.
Ia selalu mempunyai prasangka yang baik kepada mereka.
Ia membiasakan lisannya mengucapkan yang baik-baik,
menjaga pandangan matanya agar tidak melihat kepada
sesuatu yang tidak selayaknya, mempercepat langkah
ketika berjalan, berusaha diam kecuali dalam kebaikan,
melakukan amar maruf nahyi munkar kepada para penguasa
yang mempunyai perasaan takut dan diharapkan bisa
berubah, …

Senantiasa berlapang dada kepada semua makhluk,
mendo’akan kaum muslimin, melayani orang-orang fakir,
serta mengasihi dan menyayangi semua hamba Allah, baik
manusia maupun yang lainnya.

Dikisahkan bahwa ada seorang penguasa yang sangat
lalim,…. suatu hari ia menaiki tunggangannya dan
kemudian melihat seekor anjing yang kepayahan. Udara
pada hari tersebut sangat dingin. Ia pun segera
memerintahkan para pembantunya agar anjing itu dibawa
ke rumah. Ia sangat mengasihi anjing tersebut dan
berbuat baik kepadanya. Ketika malam tiba, ia bermimpi
ada suara yang berkata padanya,…“Engkau tadinya
seperti anjing,.. maka kami berikan engkau pada seekor
anjing.”

Sifat salik lainnya adalah senantiasa menyebarkan
kebaikan manusia. Ia tutupi aib mereka, kecuali ahli
bid’ah agar orang-orang mengetahui dan berhati-hati
kepadanya.
Seorang salik juga selalu memandang dengan wajah yang
menyiratkan penghormatan. Ia tidak pernah menganggap
dirinya lebih baik dari orang lain, tidak merasa
berjasa dan tidak meminjamkan –tapi memberi.
Kalaupun orang yang membutuhkan kemudian meminta
sesuatu kepadanya, ia segera memberi-nya tanpa rasa
pamrih. Namun, jika orang tadi mengembalikannya, ia
meminta secara halus kepadanya agar tak usah
dikembalikan. Kalau toh orang tadi menolak dan
memak-sa untuk mengembalikannya, maka ia mengambilnya,
tapi untuk diserahkan kepada orang lain yang juga
membutuhkannya. Seorang salik takkan mengambil kembali
apa yang sudah keluar darinya. Jika suatu ketika
barangnya terjatuh dijalan, entah itu berupa pakaian
atau uang, meskipun jumlahnya sekitar seribu dinar,
sementara ia sudah berjalan jauh, ia takkan kembali
untuk mencarinya dan tidak pula mengumumkannya. Jika
ternyata pada kondisi tersebut jiwanya goncang,
berarti padanya terdapat penyakit yang tersisa dan
dunia masih mendekam dalam qalb-nya. Hendaknya ia
lekas mengobati penyakitnya itu. Hanya saja, kalau
barang yang hilang tadi kembali tanpa di cari, maka
terserah ia. Ia bisa menyimpannya atau
mengeluarkannya.
Selanjutnya, sifat seorang salik yang lain adalah
mendahulukan kaum fakir daripada orang kaya serta
mengutamakan mereka yang cenderung pada akhirat
ketimbang hamba dunia. Seorang salik tidaklah harus
menjadi miskin. Tetapi, ada yang miskin dan ada pula
yang kaya. Seorang salik juga senang melakukan amal
ketaatan, baik dalam kesendirian maupun dalam
keramaian. Ia selalu berusaha agar jiwanya dan
lintasan pikirannya bersama Allah dalam menerima
limpahan karunia. Ia senantiasa ridha kepada Allah
dalam semua kondisi. Segala puji bagiNya dalam setiap
keadaan.
Kalau ia bisa mengubah kebiasaan yang lazim dilakukan
oleh manusia dan dirinya, maka akan Allah berikan
untuknya sesuatu yang luar biasa sebagai imbalan yang
setimpal. Itulah yang oleh masyarakat awam disebut
dengan karamah. Adapun bagi kalangan khusus, karamah
adalah pertolongan Tuhan berupa taufiq dan kekuatan
hingga ia bisa mengubah kebiasaan mereka.

“Kesibukanku pada dunia membuatku jauh dari-Mu,…
karena itu, kumpulkan aku dengan-Mu lewat pengabdian
yang bisa mengantarku sampai padaMu. Bagaimana akan
dijadikan petunjuk atas-Mu sesuatu yang keberadaannya
sendiri membutuhkanMu?..
Adakah selainMu yang tampak sehingga ia bisa menjadi
petunjuk atas-Mu?… Kapankah kiranya Engkau
tersembunyi sehingga dibutuhkan petunjuk yang
menerangkan keberadaanMu?…
Kapankah kiranya Engkau jauh sehingga diperlukan
sesuatu yang bisa mengantarkan padaMu?…

0 komentar:

Posting Komentar

coment untuk

@Copyright by: Memories In My Life Yudi Gp